ORANG-ORANG JAKARTA dan putra Batak islam/kristen DI BALIK TRAGEDI MALUKU.jendralSilalahi putra Batak berlumuran darah dan dosa hak azasi manusia di ambon dan masih banayak putra batak yg ikut terkontiminasi dosa dan korupsi besar di Indonesia as you can see any christian batak took the job in Indonesia they had to wear islam hat to show the obidient to the islam and javanese system.

October 6, 2008 at 3:47 pm (Uncategorized) (, , , , , , , , , , , , , , )





ORANG-ORANG JAKARTA DI BALIK TRAGEDI MALUKU

George J. Aditjondro

Pengantar
---------
Tragedi kerusuhan sosial di Maluku, menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, Ichsan Malik, dalam dua setengah tahun terakhir telah menelan lebih dari 9000
korban jiwa. Ia menyebutnya sebagai 'tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia'
belakangan ini (Kompas, 30 Maret 2001).

Pandangan umum yang beredar di Indonesia adalah bahwa konflik itu murni timbul karena
persaingan antara kedua kelompok agama - Kristen dan Islam - di Maluku, atau karena ulah
'sisa-sisa kelompok separatis RMS' di sana. Berbeda dengan pandangan umum itu,
penelitian kepustakaan dan wawancara-wawancara penulis dengan sejumlah sumber di Maluku
dan di luar Maluku menunjukkan bahwa tragedi itu secara sistematis dipicu dan dipelihara
oleh sejumlah tokoh politik dan militer di Jakarta, untuk melindungi kepentingan mereka.

Dalam makalah ini, penulis akan menggambarkan bagaimana konflik itu dipicu dengan bantuan
sejumlah preman Ambon yang didatangkan dari Jakarta, lalu mengalami eskalasi setelah
kedatangan ribuan anggota Lasykar Jihad dari Jawa. Intensitas konflik dipelihara oleh
satu jaringan militer aktif dan purnawirawan, yang terentang dari Jakarta sampai ke
Ambon. Selanjutnya, penulis juga akan mengungkapkan agenda militer dalam memelihara
kerusuhan-kerusuhan itu.

Akhirnya, dalam kesimpulan penulis akan mengajukan beberapa usul untuk penyelesaian kasus
Maluku.

Jaringan Preman Ambon
----------------------
Pada tahun 1980-an, seorang preman Ambon beragama Kristen di Jakarta, Ongkie Pieters
membangkitkan rasa hormat dan ketakutan di kalangan kaum muda Ambon, tanpa menghiraukan
agama mereka. Meskipun penghidupan mereka didapatkan lebih dengan menggunakan otot
ketimbang otak, para preman Ambon di Jakarta masih menghormati tradisi pela
(persekutuan darah antara kampung Kristen dan kampung Islam). Kalau berkelahi, mereka
sering memakai ikat kepala merah, yang lebih merupakan simbol ke-Ambon-an yang berakar
dalam kultur Alifuru ketimbang lambang agama Samawi yang mereka anut. Hal ini secara
radikal berbeda dengan makna yang kini diberikan terhadap 'merah' sebagai simbol Kristen
dan 'putih' sebagai simbol Islam. Tidak berapa lama, seorang preman Ambon yang lain,
Milton Matuanakotta muncul ke tengah-tengah gelanggang. Ia memiliki banyak pendukung di
kalangan kaum muda baik di kalangan Ambon Kristen maupun Muslim, dan dengan cepat
menjadi lebih populer di kalangan preman Ambon di Jakarta daripada pendahulunya. Pada
saat itu, orang-orang Ambon Muslim beranggapan perlu memiliki 'pahlawan' mereka sendiri,
maka mereka memilih Dedy Hamdun, seorang Ambon keturunan Arab. Figur ini agak
kontroversial, sebab di satu sisi ia aktif berkampanye untuk PPP, tetapi di sisi lain
suami artis Eva Arnaz itu juga bekerja untuk membebaskan tanah bagi bisnis properti
Ibnu Hartomo, adik ipar bekas Presiden Soeharto.

Entah karena aktivitas politik atau bisnisnya, di awal 1998 Deddy Hamdun diculik bersama
sejumlah aktivis PRD, Aldera, dan PDI-P oleh satu reguKopassus bernama Tim Mawar yang
berada di bawah komando Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto waktu itu.
Hilangnya Hamdun setelah 3 1/2 bulan dalam tahanan Tim Mawar (Siagian 1999: 20-21)
mengubah peta politik preman Ambon di Jakarta. Kepemimpinan pemuda Muslim Maluku
diambilalih oleh Ongen Sangaji, seorang preman Maluku Muslim yang juga anggota Pemuda
Pancasila.

Secara ironis, dalam bersaing untuk loyalitas di kalangan kaum muda Maluku di Jakarta
kedua pemimpin preman itu juga bersaing dalam mendapatkan akses ke bisnis keamanan
pribadi anak-anak Soeharto. Milton memperoleh akses ke mereka melalui Yorris Raweyai,
wakil ketua Pemuda Pancasila yang berasal dari Papua Barat dan dekat dengan Bambang
Trihatmodo. Selain itu, Milton adalah ipar Tinton Soeprapto, pimpinan arena pacuan mobil
milik Tommy Soeharto di Sentul, Bogor.

Sementara itu, Ongen lebih dekat ke Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut melalui Abdul
Gafur, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga di zaman pemerintahan Soeharto. Anak buah Ongen
terutama berasal dari desa-desa Pelauw dan Kalolo di Haruku.

Menjelang Sidang Istimewa MPR November 1998, ketika B.J.Habibie berusaha mencari mandat
untuk melegitimasi kepresidenannya, sejumlah politisi, jendral dan usahawan menciptakan
kelompok paramiliter baru untuk menangkal aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang
menentang pencalonan kembali Habibie.

Kelompok Pam Swakarsa ini antara lain terdiri dari preman-preman Ambon Muslim yang
direkrut oleh Ongen Sangaji. Dukungan keuangan untuk kelompok ini berasal dari keluarga
Soeharto dan seorang pengusaha keturunan Arab, Fadel Muhammad, yang dekat dengan
keluarga Soeharto.

Sementara dukungan politis untuk kelompok itu berasal dari Jenderal Wiranto, Menteri
Pertahanan waktu itu, Mayor Jenderal Kivlan Zein, Kepala Staf KOSTRAD waktu itu, Abdul
Gafur, Wakil Ketua MPR waktu itu, dan Pangdam Jaya Mayjen Djadja Suparman.

Untuk meningkatkan militansi para milisi yang miskin dan berpendidikan rendah itu, mereka
diindoktrinasi bahwa para aktivis mahasiswa adalah "orang-orang komunis" yang didukung
oleh jendral dan pengusaha Kristen. Dengan demikian banyak anggota PAM Swakarsa
beranggapan bahwa mereka ber'jihad' melawan "orang kafir". Kenyataan bahwa bentrokan
yang paling sengit antara para mahasiswa dan tentara terjadi di kampus Universitas
Katolik Atmajaya, hanya karena kedekatan kampus itu dengan gedung parlemen, memberikan
kesan kredibilitas dari propaganda sektarian dan anti komunis ini.

Dalam kerusuhan Semanggi menjelang Sidang Istimewa MPR itu, empat orang anak buah Ongen
yang berasal dari Kailolo (Haruku), Tulehu dan Hitu (Ambon), dan Kei (Maluku Tenggara),
dibunuh oleh penduduk setempat yang berusaha melindungi para aktivis mahasiswa dari
serangan kelompok milisi Muslim itu.

Maka terbukalah peluang untuk menghasut preman-preman Ambon Islam itu untuk melakukan
balas dendam. Konyolnya, balas dendam itu tidak diarahkan terhadap para aktivis
mahasiswa, tetapi terhadap sesama preman Ambon yang beragama Kristen. Kesempatan itu
timbul ketika terjadi kerusuhan di daerah Ketapang, Jakarta Pusat, pada hari Minggu dan
Senin, 22-23 November 1998.

Apa yang dimulai adalah percekcokan antara para satpam Ambon Kristen yang menjaga sebuah
pusat perjudian dan penduduk setempat segera berkembang menjadi kerusuhan anti Kristen
di mana lusinan gereja, sekolah, bank, toko, dan sepeda motor dihancurkan.

Ternyata, kekuatan-kekuatan dari luar dikerahkan untuk mengubah konflik lokal itu menjadi
konflik antar-agama. Kekuatan-kekuatan luar ini mencakup sekelompok orang yang mirip
orang Ambon, yang menyerang lingkungan Ketapang pada jam 5.30 pagi. Mereka dibayar Rp
40.000 ditambah makan tiga kali sehari untuk menteror orang-orang Muslim setempat.
Meskipun salah seorang dari mereka yang tertangkap adalah orang Batak yang kemudian
disiksa dan dibunuh oleh penduduk setempat, namun mayoritas preman ini adalah orang
Ambon anggota PAM Swakarsa bentukan Gafur. Mereka yang menyerang semua penduduk
setempat yang terlihat melintas di sekitarnya dan membakar semua sepeda motor yang
diparkir di depan mesjid setempat yang menyebabkan jendela-jendela mesjid itu pecah.

Dipicu oleh kabar angin bahwa sebuah mesjid telah dibakar oleh 'orang-orang kafir',
penduduk Muslim setempat balik menyerang orang-orang luar tadi dengan dukungan para
anggota Front Pembela Islam (FPI) yang didatangkan dari berbagai tempat di Jakarta.
Selama kerusuhan ini, enam orang meninggal korban main hakim sendiri oleh penduduk
Muslim setempat dan para anggota FPI. Tiga orang dari korban itu adalah orang-orang
Kristen dari Saparua dan Haruku.

Memang tidak jelas apakah rangkaian pembunuhan terhadap para preman Ambon di Senayan dan
Ketapang itu telah dipersiapkan oleh sekutu-sekutu politik Soeharto. Yang jelas,
kerusuhan di Ketapang mengukuhkan monopoli sebuah pusat perjudian lain di jalan Kunir,
Jakarta. Pusat perjudian itu dikelola oleh Tomy Winata, mitra bisnis Bambang
Trihatmodjo dan teman dekat Yorris Raweyai dari Pemuda Pancasila.

Terlepas dari motif di balik pembakaran pusat perjudian di Ketapang, pembunuhan terhadap
para preman Ambon Muslim dan Kristen itu mengakibatkan kedua kelompok itu bertekad
melakukan balas dendam terhadap satu sama lain di kampung halaman mereka di Maluku.

Dengan menggunakan kerusuhan Ketapang sebagai alasan, aparat keamanan di Jakarta
menangkap semua orang Maluku yang tidak memiliki KTP, dan menaikkan mereka ke kapal
penumpang sipil maupun Angkatan Laut yang berlayar ke Ambon. Menurut seorang sumber
penulis yang berlayar dengan KM Bukit Siguntang ke Ambon pada bulan Desember 1998,
sekelompok preman Ketapang yang menumpang di geladak kapal dengan suara keras
menggembar-gemborkan niat mereka untuk membalas dendam terhadap musuh mereka di Ambon.

Di mata orang awam, langkah-langkah aparat keamanan ini tidak tampak mencurigakan, karena
banyak orang Ambon Kristen pulang ke kampung halamannya untuk merayakan Natal, sementara
banyak orang Ambon Muslim juga merencanakan untuk melalui bulan puasa dan liburan Idul
Fritri bersama sanak keluarga di kampung mereka. Baru kemudian tersebar berita bahwa
antara 165 dan 600 pemuda Ambon telah berlayar pulang ke Ambon selama akhir tahun 1998.
Di antara mereka terdapat preman Ambon Kristen yang terlibat dalam serangan fajar di
Ketapang, maupun Sadrakh Mustamu, kepala keamanan di pusat perjudian Ketapang. Ongen
Sangaji dan Milton Matuanakotta juga termasuk preman Ambon yang pulang ke Ambon pada
akhir tahun 1998, untuk menyulut kerusuhan di sana.

Preman Ambon yang datang dari Jakarta, segera melebur ke dalam kalangannya masing-masing.
Di kotamadya Ambon yang berpenduduk hampir 350 ribu jiwa itu, dunia preman dikuasai oleh
dua orang tokoh yang berbeda kepribadiannya, Berty Loupati yang masih muda lebih
merupakan seorang preman profesional, serta Agus Wattimena yang tua, seorang penatua
(anggota Majelis Gereja) yang juga jago berkelahi.

Berty Loupati adalah pemimpin kelompok 'Coker' yang didirikannya awal 1980-an di daerah
Kudamati dekat RS Dr. Haulussy setelah ia pulang dari "berguru" ilmu kriminalitas kelas
teri (petty crime) di Surabaya. Kelompok ini adalah hasil peleburan kelompok-kelompok
preman yang lebih kecil di Ambon, seperti Van Boomen, Papi Coret, Sex Pistol. Anggota
kelompok preman gabungan itu kurang lebih seratus orang, Nasrani maupun Muslim.

Walaupun anggotanya ada juga yang perempuan, Coker semula merupakan kepanjangan dari
"Cowok Keren" ('Handsome Boys'), walaupun kemudian ada yang mempelesetkan arti Coker
menjadi Cowok Kerempeng ('Skinny Boys'), karena kebanyakan anggotanya memang kurus
kerempeng. Di kemudian hari, setelah konflik antar-agama mulai berkecamuk di kota Ambon,
majalah mingguan Tajuk (April 1999) mengubah arti Coker menjadi 'Cowok Keristen'
('Christian Boys'). Singkatan "Cowok Kristen" itu kemudian dipopulerkan oleh media massa
yang mendukung kehadiran Lasykar Jihad di Maluku.

Di luar struktur Coker, Agus Wattimena mendirikan Lasykar Kristus, khusus dibentuk untuk
berperang melawan kelompok milisi Islam asli Ambon sertaLasykar Jihad yang datang dari
luar Ambon. Jagoan yang sering menyandang pistol Colt kaliber 45 mengaku punya 60 ribu
anak buah (Hajari 2000).

Tidak jelas seberapa jauh kebenaran klaim Agus itu. Yang jelas, adanya dua kelompok yang
sama-sama mengklaim membela kepentingan masyarakat Ambon Kristen menimbulkan rivalitas
yang sangat tajam antara Berty dan Agus, apalagi setelah beredar kabar burung bahwa
Berty mulai condong ke kepentingan penguasa dari Jakarta. Tidak lama setelah nama Agus
Wattimena diumumkan sebagai "Pimpinan Akar Rumput" (Grassroots Leader ) Front Kedaulatan
Maluku (FKM), yang diproklamasikan oleh dokter Alex Manuputty dan kawan-kawannya pada
tanggal 18 Desember 2000, riwayat Agus tampaknya sudah tamat.

Hari Selasa malam, 20 Maret 2001, Agus Wattimena tewas tertembak di rumahnya sendiri,
dengan dua lubang tembakan di jidat dan lengan kirinya (Jakarta Post, 22 Maret 2001).
Menurut sumber-sumber Lasykar Jihad (Laskarjihad.or.id, 21 Maret 2001), "Agus ditembak
oleh pesaingnya, Berty Loupatty, kepala geng Coker (Cowok Kristen), yang satu daerah
dengan Agus. Berty dan Agus memang akhir-akhir ini sudah tidak akur dan pernah terlibat
baku tembak melibatkan seluruh anak buah mereka di kawasan Kudamati beberapa bulan
lalu".

Namun melihat pola adu domba antara sesama kelompok sipil yang semakin sering dilakukan
oleh kelompok-kelompok militer di berbagai penjuru Nusantara, bisa saja Agus Wattimena
ditembak mati oleh seorang sniper profesional. Soalnya, ia baru dibunuh setelah
melibatkan diri secara langsung dalam sebuah organisasi yang terang-terangan
memperjuangkan kedaulatan rakyat Maluku yang diproklamasikan oleh RMS tahun 1950. Jadi
saat itu ia bukan lagi sekedar panglima satu kelompok milisi yang semata-mata
memperjuangkan keselamatan separuh penduduk kota Ambon yang beragama Kristen.

Kendati demikian, buat kebanyakan orang Ambon yang beragama Kristen, kematian laki-laki
setengah ompong berumur 50 tahun itu tetap dihargai sebagaimana layaknya gugurnya
seorang pahlawan. Ia dikuburkan di tengah-tengah 400 orang anakbuahnya yang telah
meninggal terlebih dahulu di kota Ambon. Kematiannya tidak hanya diperingati di kota
Ambon, tapi juga oleh masyarakat Ambon Kristen di Jakarta, dihadiri oleh sejumlah artis
terkenal.

Sementara itu, Ongen Sangaji dan Milton Matuanakotta sudah sama-sama bersembunyi untuk
menghindarkan diri dari kemarahan masyarakat Ambon di Jakarta. Ongen kabarnya telah
bersumpah untuk tidak akan terlibat lagi dalam proyek kerusuhan di tempat-tempat lain di
Indonesia, sedangkan Milton kabarnya disembunyikan atas perintah Jenderal (Purn.)
Wiranto, yang peranannya akan dibahas kemudian dalam makalah ini.

Eskalasi dua tahap
-------------------
Setelah dipicu oleh para preman Ambon dari Jakarta, konflik di Maluku dapat dibagi dalam
dua tahap. Tahap pertama mulai Januari 1999 sampai dengan akhir April 2000, dan ditandai
oleh saling menyerang antara penduduk Kristen dan Muslim yang sebagian besar menggunakan
senjata primitif buatan sendiri, termasuk bom rakitan. Ada keseimbangan kekuatan antara
kedua belah fihak. Selanjutnya, fase kedua mulai dari bulan Mei 2000, yang ditandai oleh
kedatangan orang non-Maluku, yang sebagian besar adalah orang Muslim dari Jawa,
Sulawesi, dan Sumatera, yang dikenal sebagai Lasykar Jihad.

Mereka membawa senjata modern dan bersekutu dengan personil militer Muslim yang berjumlah
80% dari pasukan yang ditempatkan di kepulauan rempah-rempah itu. Perkembangan ini
secara total menghancurkan keseimbangan sebelumnya, dan menciptakan perimbangan kekuagan
yang menguntungkan orang Muslim.

Selama tahap pertama, ketika secara relatif jumlah orang yang terbunuh masih sedikit dan
tingkat kebencian antaragama belum mencapai klimaksnya, maka operasi intelijen
direncanakan secara cermat untuk mengkondisikan kedua komunitas menerkam leher satu sama
lain, segera setelah kerusuhan sosial dipicu. Operasi-operasi intelijen ini mencakup
penyaluran pamflet-pamflet provokatif di kalangan penduduk dan penyaluran handie-talkie
di kalangan pemimpin kelompok-kelompok setempat agar kerusuhan dapat dipicu secara
simultan dalam jangkauan yang luas.

Beberapa pamflet tanpa nama yang disebarkan di Ambon menjelang kerusuhan bulan Januari
dan Februari 1999, memperingatkan kedua belah pihak, bahwa pihak lain sedang
merencanakan untuk membakar rumah-rumah ibadah mereka, dan memperingatkan sebuah
kelompok etnik bahwa kelompok etnik lain sedang merencanakan untuk membinasakan mereka.

Pamflet-pamflet serupa disebarkan di kalangan kaum Muslim di Maluku Utara, menjelang
kerusuhan bulan Agustus dan November 1999. Ditandatangani oleh para pemimpin gereja
Protestan di Ambon, isi pamflet-pamflet itu mendesak orang Kristen untuk membinasakan
semua orang Muslim. Salah satu pamflet jatuh ke tangan aparat desa di Tidore. Sebuah
pertemuan diadakan dan ketika pendeta setempat, Ari Risakotta, tidak muncul untuk
menjelaskan isi surat itu, ia diserang dan dibunuh di rumahnya. Mengingat bahwa
pertarungan yang masih berlangsung di Ambon, rasanya sangat tidak mungkin bahwa ada
pemimpin gereja menginginkan konflik itu merambat ke daerah lain di kepulauan itu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pamflet-pamflet ini dibuat oleh para agitator yang sangat
profesional, yang mengenal masyarakat Maluku Utara dengan sangat baik.

Akhirnya, setelah perang saudara berlangsung beberapa bulan dan kedua belah fihak telah
banyak saling membunuh, seruan jihad dikumandangkan oleh organisasi-organisasi militan
Muslim yang didukung oleh sejumlah politisi Muslim dalam tablig akbar pada tanggal 7
Januari 2000 di Lapangan Monas Jakarta, yang menjadi platform untuk memobilisasi
kekuatan-kekuatan Lasykar Jihad, untuk dikirim ke Maluku.

Sepintas lalu, semua perkembangan ini tampak berlangsung secara spontan. Tetapi di bawah
permukaan, ada dua jaringan yang saling berhubungan, yakni jaringan militer dan jaringan
Muslim militan, yang masing-masing punya agenda sendiri, tetapi dipersatukan oleh tujuan
bersama untuk menyabot tujuan pemerintah untuk menurunkan kekuasaan militer dan untuk
menciptakan masyarakat yang terbuka, toleran, dan bebas dari dominasi suatu agama.

Jaringan Militer
------------------
Jaringan militer yang menjembatani kedua tahap itu terentang dari Jakarta sampai ke
Ambon, dan terdiri dari perwira-perwira aktif maupun purnawirawan yang bekerja keras
untuk memprovokasi orang-orang Muslim dan Kristen untuk bertarung. Mereka termasuk dalam
faksi militer yang dengan kuat menentang pengurangan politik dan kepentingan bisnis
militer, atau ikut dalam jaringan ini untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari
sorotan dan kemungkinan pengadilan atas pelanggaran hak-hak asasi manusia serta
kejahatan melawan kemanusiaan.

Dua orang jendral purnawirawan, tiga orang jendral aktif, dan seorang pensiunan perwira
TNI/AU, terlibat dalam jaringan ini. Mereka terdiri dari Jendral (Purn.) Wiranto, Mayor
Jenderal Kivlan Zein, Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono, Letjen Djadja Suparman, Letjen
Suaidy Marasabessy, Mayjen Sudi Silalahi, dan Mayor TNI/AU (Purn.) Abdul Gafur.

Wiranto adalah Penglima Angkatan Bersenjata yang bertanggungjawab atas pestapora
kekerasan dan kehancuran pasca referendum di Timor Lorosa'e pada bulan September 1999,
dan juga bertanggungjawab atas pecahnya kekerasan di Ambon, delapan bulan kemudian.

Nama Kivlan Zein, pernah dikemukakan sekali oleh Abdurrahman Wahid, walaupun dengan
secara agak tersamar, yakni "Mayjen K" (Tempo, 29 Maret 1999: 32-33). Menurut informasi
yang saya peroleh, Kivlan Zein, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf KOSTRAD,
memang ditugaskan oleh Wiranto untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR bulan November
1998. Tugas itu antara lain dilaksanakan dengan pembentukan PAM Swakarsa, yang sebagian
besar beragama Islam.

Untuk melakukan tugas-tugas counter-insurgency semacam itu, Kivlan Zein punya satu
sumber dana yang luarbiasa, yakni kelompok perusahaan Tri Usaha Bhakti (TRUBA), di mana
ia duduk sebagai komisaris (Kompas, 3 November 2000). Awal November tahun lalu, anggota
Komisi I DPR, Effendi Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa mendesak Departemen
Pertahanan dan Markas Besar TNI agar secara serius menindaklanjuti hasil auditing BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan) terhadap sejumlah yayasan milik TNI, yang baru saja
dilaporkan ke DPR. Di situ termasuk bisnis Yayasan Kartika Eka Paksi, pemilik seluruh
saham TRUBA itu. Sayangnya, seruan politisi PKB itu tidak ditanggapi oleh pemerintah
maupun para anggota DPR yang lain.

Djadja Suparman adalah Pangdam Jaya yang ikut bertanggungjawab atas pembentukan PAM
Swakarsa. Setelah dipromosikan menjadi Pangkostrad, ialah yang memerintahkan pasukan
Kostrad di Makassar untuk terbang ke Ambon, hanya satu jam setelah bentrokan antara
seorang pengendara angkutan umum Ambon Kristen dan seorang penumpang Bugis Muslim pecah
di Ambon pada tanggal 14 Januari 1999.

Belakangan ini ada sinyalemen di Jakarta, bahwa korupsi sebesar Rp 173 milyar di
lingkungan yayasan-yayasan Kostrad ketika kesatuan militer elit itu masih berada di
bawah Djadja Suparman (Tempo, 24-30 April 2001, Laporan Utama), ada hubungan dengan
kerusuhan di Maluku. Sebagian dana itu digunakan untuk membiayai pelatihan dan
pengiriman 6000 orang anggota Lasykar Jihad ke Maluku. Paling tidak, begitulah yang
dipercayai oleh para anggota Kongres AS, yang menolak normalisasi kerjasama militer
antara AS dan Indonesia.

Seperti yang telah disinggung di depan, Abdul Gafur yang mantan Menteri Pemuda dan
Olahraga di bawah Soeharto itu ikut terlibat dalam pembentukan pasukan PAM Swakarsa
tersebut, khususnya kelompok preman Maluku Muslim yang diketuai oleh Ongen Sangaji.

Di kalangan orang Maluku di Jakarta, ia dikenal sangat tekun berusaha memecah-belah
masyarakat Maluku berdasarkan garis agama. Pada 15 Mei 1995, ketika komunitas Ambon di
Jakarta memperingati pemberontakan Pattimura melawan Belanda pada tahun 1817, Gafur
memboikot perayaan orang Maluku di Gedung Joang di lingkungan Menteng di mana dua pemuka
agama -- Kristen dan Muslim -- memanjatkan doa mereka. Ia sebaliknya mengorganisir
perayaan eksklusif bagi orang Maluku Muslim di Taman Mini Indonesia Indah dengan
mengorganisir lari membawa obor. Pada kesempatan lain, Gafur mengatakan bahwa Pattimura
beragama Islam, bertentangan dengan pandangan umum bahwa pahlawan nasional itu, yang
sesungguhnya bernama Thomas Matulessy, beragama Kristen.

Setelah kerusuhan meletus di Ambon, dan propinsi Maluku dipecah dua menjadi Maluku Utara
dan Maluku, Gafur yang beradarah campiran Ternate dan Acheh itu segera berkampanye untuk
menjadi kandidat Gubernur Maluku Utara, memanfaatkan koneksi-koneksi Golkarnya. Ketua
DPP Golkar yang juga ketua DPR-RI, Akbar Tanjung, mendukung pencalonan Gafur oleh
Golkar, yang menguasai kursi terbanyak di DPRD Maluku Utara (Gamma, 17-23 Jan. 2001, hal.
39; Mandiri, 28 Febr. 2001), namun sejumlah cendekiawan asal Maluku Utara menentang
pencalonan orang yang selama ini sangat bersikap menjilat pantat Soeharto dan
keluarganya.

Tidak lama setelah kerusuhan meletus di kota Ambon, mulai beredar kabar-kabar burung
bahwa kerusuhan itu didalangi oleh orang-orang Maluku Nasrani, yang ingin menghidupkan
kembali 'Republik Maluku Selatan' (RMS) yang pernah dicetuskan di Ambon pada tanggal 25
April 1950, dan meneruskan perjuangan mereka lewat gerilya bersenjata di Pulau Seram
hingga tahun 1964. Tuduhan itu, di mana cap 'RMS' selanjutnya dipelesetkan menjadi
'Republik Maluku Serani', yang akan dibahas tersendiri di bagian ini, sejak dini ikut
disebarluaskan oleh Letjen (pur) A.M. Hendropriyono, mantan Menteri Transmigrasi dalam
pemerintahan Habibie. Dalam sebuah pertemuan publik pada tanggal 19 Maret 1999 dengan
gubernur Maluku, para pemimpin agama dan informal lain, serta para mahasiswa dan pemuda
di Ambon, Hendropriyono melontarkan tuduhan itu. Seorang jendral purnawirawan lain,
Feisal Tanjung, yang pernah menjadi Pangab dalam kabinet Soeharto, segera
menggarisbawahi tuduhan Hendropriyono itu.

Hendropriyono, memang punya kepentingan praktis untuk menyebarluaskan tuduhan itu.
Soalnya, setelah Soeharto dipaksa turun dari takhta kepresidenannya, peranan
Hendropriyono dalam tragedi Lampung yang menewaskan sekitar 250 jiwa - termasuk
perempuan dan anak-anak - pada tanggal 7 Februari 1989, mulai dibongkar oleh berbagai
kelompok hak asasi manusia di Indonesia. Kolonel Hendropriyono waktu itu adalah
Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung yang memimpin operasi gabungan tentara, polisi,
dan Angkatan Udara, ke sebuah perkampungan para migran dari Jawa, yang dicap sebagai
Islam fundamentalis (Awwas 2000).Cap itu, oleh berbagai pengamat, telah dianggap terlalu
berlebihan. Sebab konflik antara pemerintah dan perkampungan Islam itu, lebih berakar
pada permasalahan pembebasan tanah, yang lebih jauh lagi berakar pada sejarah pembukaan
daerah Lampung oleh Belanda untuk kepentingan para transmigran dari Jawa (Wertheim 1989)

Dengan mengalihkan perhatian ke Maluku, dengan cara-cara yang seolah-olah merangkul
kepentingan umat Islam, Hendropriyono untuk sementara waktu berhasil mengurangi sorotan
para korban tragedi Lampung.

Suaidy Marasabessy, seorang veteran dari perang Timor yang kemudian menjadi Pangdam
Hasanuddin di Sulawesi Selatan, yang menyetujui pengiriman pasukan Kostrad dari Makassar
ke Ambon, kendati mereka secara emosional berpihak untuk menentang Ambon Kristen dan
membela para migran Bugis dan Makasar di Ambon, karena didorong oleh solidaritas etnik.
Sebagai konsekuensinya Marasabessy dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat dan
dipromosikan menjadi Kasum TNI oleh Presiden Abdurahman Wahid.

Baik promosi Marasabessy maupun Djadja Suparman didasarkan pada rekomendasi dari Wiranto,
waktu itu masih menjadi Menko Polkam. Wiranto kemudian mengangkat Marasabessy untuk
mengepalai Team 19 yang terutama terdiri dari para perwira Maluku untuk mengadakan
investigasi latar belakang dari kekerasan di Maluku dan menyarankan cara-cara
penyelesaian persoalan itu.

Selama kedua fase konflik itu, Sudi Silalahi menjadi Pangdam Brawijaya di Jawa Timur, dan
telah bertanggungjawab atas pengiriman pasukan Brawijaya - berdampingan dengan pasukan
Kostrad - yang ikut meningkatkan kekerasan antaragama di Maluku. Dalam kapasitasnya
sebagai Pangdam Brawijaya, ia juga membiarkan ribuan anggota Lasykar Jihad untuk
berlayar dari Surabaya ke Ambon, meskipun Presiden Wahid menghimbau kepada seluruh
jajaran TNI dan Polri untuk menghalanginya.

Harap diingat bahwa di awal bulan-bulan kekerasan, seluruh Kepulauan Maluku masih berada
di bawah Kodam Trikora yang bermarkas di Jayapura, Papua Barat. Berarti sebenarnya
Wiranto dapat mengirim pasukan Trikora dari Papua Barat ke Ambon, ketimbang mengirim
pasukan dari Jawa dan Sulawesi Selatan, yang kebanyakan beragama Islam, untuk menghadapi
kerusuhan di Maluku.

Baru pada tanggal 15 Mei 1999, setelah puluhan batalion tentara tersebar di Kepulauan
Maluku, status Korem Pattimura ditingkatkan menjadi Kodam.

Di Maluku sendiri, dua orang kolonel yang waktu itu berkedudukan di Ambon ikut mengipas-
ngipas api kebencian antara orang Kristen dan Islam. Asisten Teritorial Pattimura, Kol.
Budiatmo, memupuk hubungan dengan para Preman Kristen, khususnya Agus Wattimena, untuk
mempertahankan kemarahan mereka terhadap para tetangga mereka yang Muslim, sementara
Asisten Intelijen Kodam Pattimura, Kol. Nano Sutarmo, menjaga agar api tetap menyala di
kalangan perusuh Muslim.

Dua orang kolonel itu, yang sudah ditempatkan di Ambon ketika Suaidy Marasabessy menjadi
Komandan Korem Pattimura, juga memiliki teman-teman di kalangan atas di Jakarta.
Saudara laki-laki Nano Sutarno, Brigjen Marinir Nono Sampurno, adalah komandan pengawal
keamanan Wakil Presidan Megawati.

Ini membuat Megawati secara praktis "tertawan" oleh agenda militer, meskipun ia justru
adalah orang yang ditugaskan Presiden Wahid untuk menyelesaikan masalah Maluku. Selain
kedua orang kolonel itu, yang di akhir tahun 2000 telah dipindahkan dari Maluku,
beberapa orang purnawirawan dan perwira aktif dan masih tinggal di Ambon juga memainkan
peran dalam mengipas-ngipas api permusuhan antaragama. Mereka adalah Brigjen (Purn)
Rustam Kastor dan Letkol (Pur) Rusdi Hasanussy.

Lahir di Ambon pada tanggal 9 Juli 1939, Rustam Kastor adalah mantan Komandan Korem
Pattimura, mantan Kepala Staf Kodam Trikora (Papua Barat), dan telah ditempatkan di
Markas Besar di Jakarta. Barangkali dialah yang paling tepat dijuluki sebagai 'bapak
ideologis' dari kekerasan Maluku.

Ia memberikan pembenaran 'pseudo-ilmiah' untuk mengundang Lasykar Jihad ke Maluku, konon
untuk menyelamatkan orang Muslim dari pembinasaan yang dilakukan oleh orang-orang Maluku
Kristen, dengan menuduh orang-orang Kristen mencoba menghidupkan kembali pemberontakan
'RMS' tahun 1950 s/d 1964. Tidak hanya Gereja Protestan Maluku, tetapi juga PDI-P
Megawati Sukarnoputri cabang Maluku dituduh terlibat dalam pemberontakan itu, yang
bertujuan untuk menciptakan negara Maluku yang berasas Kristen, di mana tidak ada tempat
bagi orang Maluku yang beragama Islam, menurut buku Rustam Kastor (2000) yang menjadi
best-seller di kalangan pendukung Lasykar Jihad di Jawa.

Sesungguhnya, teori konspirasi ini pertama kali dikemukakan pada 28 Januari 1999 dalam
konperensi pers yang diorganisir oleh dua organisasi militan Muslim, KISDI (Komite
Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) dan PPMI (Persatuan Pekerja Muslim Indonesia).
Teori konspirasi ini segera disebarluaskan oleh Letjen (pur) A.M. Hendropriyono, seperti
yang telah dijelaskan di depan. Seorang jendral purnawirawan yang lain, Feisal Tanjung,
bekas Pangab dalam kabinet Soeharto dan terakhir menjabat sebagai Menko Polkam dalam
kabinet Habibie, ikut menggarisbawahi tuduhan Hendropriyono.

Teori ini kemudian menyebar seperti api yang membakar ranting-ranting kering setelah
disiarkan oleh sebagian media massa di Indonesia, di mana singkatan RMS diplesetkan
menjadi 'Republik Maluku Serani'. Plesetan itu mendistorsi kenyataan seolah-olah semua
orang Ambon Kristen mengambil bagian dalam mendirikan gerakan kemerdekaan ini, dan
seolah-olah orang Ambon Islam semuanya menolak pemberontakan itu.

Disertasi Richard Chauvel tentang pemberontakan itu (1990) menunjukkan ketidakbenaran
pelesetan 'Republik Maluku Serani', dan bahwa RMS bukan bertujuan membentuk negara
Kristen. Chauvel jelas-jelas membeberkan bagaimana salah seorang pemimpin RMS yang
diperiksa oleh TNI setelah pemberontakan di Ambon berhasil ditumpas adalah Ibrahim
Ohorella. Raja (kepala desa) Tulehu itu malah menjadi tuan rumah rapat-rapat persiapan
proklamasi RMS, mengerahkan sebagian besar warga desanya untuk menghadiri proklamasi RMS
di alun-alun kota Ambon yang dihadiri sekitar 9000 orang, dan memasok kebutuhan sagu
senilai Rp 25 ribu (waktu itu) untuk makanan para serdadu Angkatan Perang RMS sebelum
Tulehu diduduki oleh TNI.

Sebaliknya, masyarakat Kristen di Ambon serta orang Ambon Kristen di luar Ambon juga
tidak sepenuhnya mendukung proklamasi RMS. Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) sendiri,
bersikap netral terhadap proklamasi itu.

Seorang tokoh Ambon di Jakarta yang kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri, Dr. J.
Leimena, dipercayai oleh Sukarno untuk berunding dengan pencetus RMS untuk mengakhiri
gerakan mereka.

Setelah hampir setahun disebarkan oleh berbagai media di Indonesia, teori ini diabadikan
oleh Rustam Kastor ke dalam bentuk buku (2000), yang telah menjadi paling laku, tidak
hanya di lingkungan Muslim tertentu di Maluku, Jawa dan Sulawesi. Selain dari bahasa
Provokatifnya tentang orang Kristen, buku itu menuding aksi demonstrasi mahasiswa Ambon
secara besar-besaran pada bulan November 1998, sebagai tahap 'pematangan situasi' bagi
pemberontakan RMS yang didukung oleh GPM dan PDI-Perjuangan cabang Maluku.

Menurut Kastor, demonstrasi itu merupakan upaya yang sadar untuk memperlemah militer,
sehingga mereka tidak akan dapat menghancurkan 'pemberontakan RMS' selanjutnya yang
bertujuan untuk membersihkan Maluku dari penduduk Muslimnya.

Kastor juga menuduh orang-orang Kristen memanipulasi gerakan reformasi yang dipimpin
mahasiswa untuk menghancurkan perekonomian Indonesia, dan dengan demikian mempromosikan
disintegrasi Republik dengan memisahkan provinsi-provinsi yang didominasi Kristen di
Indonesia bagian Timur -- termasuk Timor Lorosa'e --, yang kemudian dapat membentuk
negara baru yang didominasi Kristen dengan sumber-sumber daya alami yang fantastik,
karena negara itu akan meliputi Papua Barat dan provinsi Maluku yang sekarang.

Apa yang diabaikan Kastor dalam bukunya adalah kenyataan bahwa gerakan kemerdekaan Timor
Lorosa'e dan Papua Barat ikut dipimpin oleh tokoh-tokoh Muslim setempat, seperti Mar'i
Alkatiri yang kini menjadi Menteri Ekonomi dan sumberdaya Alam dalam pemerintahan
transisi di Timor Lorosa'e, serta Thaha Mohamad Alhamid, Sekjen Presidium Dewan Papua
yang kini sedang ditahan oleh pemerintah Indonesia di Papua Barat. Alkatiri dan Alhamid
tentu saja tidak berjuang untuk menciptakan suatu aliansi negara Kristen di Timur
Indonesia. Di samping itu, kehendak untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia bukanlah merupakan monopoli Kristen sebagaimana ditunjukkan oleh rakyat Aceh.

Selain menulis buku untuk membenarkan perang antaragama di Maluku, Kastor terlibat aktif
mempersiapkan kedatangan Lasykar Jihad di Maluku, dan memupuk fanatisme mereka melalui
khotbah-khotbah yang membakar.

Tokoh selanjutnya, H. Rusdi Hassanusi, mungkin merupakan satu-satunya perwira polisi
aktif yang memimpin sebuah cabang Majelis Ulama Indonesia. Pada bulan Juli 1999, ketua
MUI Maluku itu pergi ke Makassar untuk merekrut enampuluh orang anggota Muhammadiyah dan
mengapalkan mereka ke Ambon untuk bergabung dengan milisi Muslim lokal (TPG, 1999).
Secara ironis, ia kehilangan anaknya, Alfian ("Eki") Hassanusi (10), sersan polisi yang
secara fatal dilukai oleh penembak gelap pada hari Rabu, 17 Mei, 2000.

Dengan begitu banyak tokoh militer yang terlibat dalam menghasut kekacauan di Maluku,
maka tidaklah mengherankan jika para serdadu itu dapat beroperasi dengan bebas di kedua
provinsi kembar itu, di mana sampai Mei 2000, 70% dari para korban di kedua belah pihak
dibunuh atau dilukai dari tembakan senjata organik militer dan polisi.

Pada dasarnya, tiga kesatuan tentara dan satu kesatuan polisi telah mengambil bagian
dalam pembunuhan besar-besaran itu, yakni pasukan-pasukan Kostrad, Brawijaya, Kopassus
dan Brimob. Keterlibatan Kopassus tidak begitu kentara sebagaimana tiga kesatuan lain,
yang telah didokumentasikan dengan baik oleh para jurnalis asing. Para tentara Kopassus
sering menyamarkan dengan menggunakan jubah Arab dan jenggot palsu sebagai ciri Lasykar
Jihad, atau menggunakan kaos-kaos Lasykar Maluku sebagai ciri dari milisi Kristen.

Beberapa orang dari mereka ditangkap sebelum mencapai Ambon, sebagaimana terjadi ketika
empat orang tentara Kopassus berambut panjang ditahan di atas kapal KM Lambelu, pada 5
Agustus 2000, kira-kira 70 orang perwira Kopassus dilihat oleh para jurnalis dan para
relawan kemanusiaan meninggalkan Ambon dengan menumpang pesawat terbang militer
Hercules, dengan mendorong sebuah peti kayu besar yang berisi perlengkapan mereka ke
dalam pesawat terbang. Mereka memakai seragam loreng, lengkap dengan lencana
Kopassusnya. Kehadiran para anggota Kopassus di Ambon itu sudah diketahui oleh para
jurnalis sejak Januari 1999.

Kehadiran Kopassus di antara Lasykar Jihad dapat disimpulkan dari ketrampilan tempur
mereka yang khas -- seperti menembak dan melempar granat dari dalam drum minyak yang
kosong yang digelindingkan oleh anggota Lasykar Jihad ketika menyerang kampus UKIM
(Universitas Kristen Indonesia Maluku) -- atau dengan kelaziman dari para penembak
gelap, yang sering bertindak secara tenang dan berhati-hati untuk menetapkan jumlah
korban yang setara bagi kedua komunitas, dalam setiap konfrontasi antaragama. Memang
tembakan kepala yang fatal tidak merupakan monopoli anggota Kopassus, dan telah
dikuasai pula oleh pasukan-pasukan khusus Angkatan Darat memiliki waktu dan kesempatan
yang lebih lama untuk mengembangkan keterampilan yang mematikan ini selama masa tugas
mereka di Timor Lorosa'e dan berkat latihan bersama para penembak jitu SAS di Australia.

Tanpa dukungan militer ini, Lasykar Jihad sendiri pada tanggal 21-22 juni 2000 tidak
mungkin menghancurkan markas Brimob di Tantui, Ambon, membakar asrama yang dihuni kira-
kira 2.000 orang anggota Polri dan anggota keluarga mereka, menghancurkan dua gudang
amunisi, dan mencuri 832 pucuk senjata, 8.000 butir peluru, dan lusinan seragam Brimob.

Jaringan Muslim
--------------------
Berbicara tentang Lasykar Jihad membawa kita pada jaringan Muslim militan, yang
bekerjasama dengan jaringan militer yang diuraikan sebelumnya, untuk mengirimkan enam
ribu orang pemuda Muslim ke Kepulauan Maluku diharapkan dapat 'membebaskan saudara laki-
laki dan perempuan Muslim mereka dari para penindas Kristen mereka'.

Kebanyakan pemimpin massa yang direkrut untuk mengobarkan Jihad di Maluku berasal dari
arus kaum militan Muslim baru, yang mengikuti ajaran gerakan Wahhabi. Gerakan
internasional ini bertujuan untuk kembali kepada Islam dari generasi awal yang didanai
oleh para anggota dinasti Saud. Gerakan itu dinamai dengan nama pendirinya, Muhammad
bin Abdul-Wahab (1705-1787), yang ajarannya diterapkan oleh Ibnu Saud, ketika ia
mendirikan monarki Saudi pada tahun 1925.

Di Indonesia, mereka berkembang pesat di luar dua organisasi Muslim yang paling besar --
Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah -- dalam gerakan Tarbiyah, yang membentuk jamaah salaf
di kalangan mahasiswa di beberapa universitas negeri yang bergengsi, seperti ITB.
Tujuannya adalah untuk mendirikan negara Islam, karena itu mereka juga dikenal sebagai
gerakan 'neo-NII', untuk membedakan mereka dari gerakan bawah tanah yang pernah
dihubungkan dengan operasi intelijen almarhum Jendral Ali Murtopo.

Seorang aktivis 'neo NII' adalah Al-Chaidar, berasal dari Aceh, yang mengorganisir
tabligh akbar yang dihadiri antara 40.000 sampai 10.000 Orang di Monumen Nasional
Jakarta pada tanggal 7 Januari 2000. Tabligh akbar yang menghimbau agar orang Muslim
berjihad ke Amdon dihadiri oleh Amien Rais, ketua MPR, Hamzah Haz, mantan menteri dalam
kabinet Wahid, Fuad Bawazier, mantan menteri dalam kabinet Soeharto, serta 22 organisasi
Muslim militan, termasuk KISDI, PPMI, FPI dan Asosiasi Muslim Maluku yang dipimpin oleh
Ongen Sangaji.

Keterlibatan dari tokoh-tokoh politisi Poros Tengah seperti Amien Rais, Hamzah Haz, dan
Fuad Bawazier itu, tidak terlepas dari perbedaan pendapat mereka dengan Presiden
Abdurrahman Wahid soal peranan Islam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Dirintis
melalui ICMI di bawah pimpinan BJ Habibie, para politisi Islam itu mengkampanyekan
"demokrasi proposional" dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia. Maksudnya, karena
umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia, maka mereka harus mendominasi
pemerintahan, tentara, parlemen, dan ekonomi Indponesia, yang menurut mereka saat itu
masih didominasi oleh golongan minoritas Kristen dan Tionghoa (Hefner 2000: 141-142.,
147-148. 150, 212).

Sikap itu justru bertolakbelakang dengan sikap politik Abdurrahman Wahid. Makanya ia
menampik tawaran masuk ICMI dan sebaliknya ikut mendirikan Forum Demokrasi (Fordem)
bersama sejumlah cendekiawan non-Muslim (Hefner 2000: 162). Sikap itu dilanjutkannya
setelah dipilih menjadi Presiden dengan dukungan Poros Tengah, Golkar dan militer. Tak
ketinggalan, Wahid pun menganjurkan rekonsiliasi dengan kaum kiri di Indonesia dengan
mengusulkan pencabutan Ketetapan MPR No. 25 Tahun 1966 yang melarang penyebaran faham
Marxisme-Leninisme di Indonesia. Berbagai 'penyimpangan' ini - di mata para politisi
Poros Tengah, Golkar dan militer - mendorong munculnya aliansi untuk mendongkel Wahid
dari kursi kepresidenannya dengan antara lain menggunakan kerusuhan Maluku sebagai
tongkat pendongkel.

Kembali ke mereka yang bergerak di garis depan, patut digarisbawahi bahwa komandan
Lasykar Jihad di Maluku, Ustadz Ja'far Umar Thalib, juga berasal dari gerakan Wahhabi. Ia
adalah imam gerakan Salafi di Indonesia yang berkiblat ke Arab Saudi. Alumnus pesantren
Persis di Bangil itu melanjutkan sekolah ke Maududi Institute di Lahore, Pakistan, dan
dari sana bergabung dengan gerilyawan Taliban di Afghanistan (1987-1989). Keterlibatan
Lasykar Jihad berperang melawan kaum Kristen di Maluku itu karena turunnya sebuah
fatwa, awal 2000 yang lalu, dari salah seorang Imam Salafi di Yaman yaitu Syaikh Muqbil
Bin Had Al Wadi'. Fatwa itu dikeluarkan khusus untuk berjihad di Maluku, tidak di
seluruh Indonesia.

Di Maluku Utara yang dominan Muslim, ada ikatan yang kuat antara Lasykar Jihad dan Partai
Keadilan, melalui ideolog partai itu, Drs. H. Abdi Sumaiti alias Abu Rido. Mantan dosen
agama Islam ITB itu, yang kini Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan, pernah
kuliah di Universitas Madinah, di mana ia bergabung dengan gerakan Wahhabi. Abu Rido
juga menentang sekte-sekte Islam lain yang dirasakannya tidak mengajarkan doktrin yang
benar. Majalah Sabili yang dimulainya ketika gerakan 'neo-NII'-nya masih di bawah tanah,
merupakan salah satu corong Lasykar Jihad.

Sementara itu, dukungan politis bagi Lasykar Jihad di dalam Angkatan Bersenjata tidak
hanya berasal dari faksi Wiranto di TNI/AD. Gerakan militan Muslim ini juga menikmati
dukungan diam-diam dari berbagai faksi di Polri dan Angkatan Laut. Meskipun Presiden
Wahid memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk mencegah pasukan Lasykar Jihad
meninggalkan Jawa, namun Kapolda Jawa Timur waktu itu, Mayjen Da'i Bahtiar, membiarkan
saja mereka berlayar dengan kapal Pelni, KM Rinjani, dari Surabaya ke Ambon. Ini
barangkali ada hubungannya dengan pernyataan komandan Lasykar Jihad, Ja'far Umar Thalib,
yang mengklaim punya 'hotline' langsung ke Panglima TNI, Laksamana Widodo (Fealy 2001).

Kenyataannya, para anggota Lasykar Jihad juga dibiarkan mengapalkan senjata mereka dengan
kapal lain, KM Tanto Sakti, yang disembunyikan dalam kotak-kotak sabun dalam 200 buah
peti kemas, yang mencapai Ambon setelah kedatangan pasukan itu. Di Ambon, aparat
keamanan membiarkan saja peti-peti kemas penuh senjata itu diturunkan di pelabuhan Yos
Sudarso yang dikuasai komunitas Muslim di Waihoang, bukan di pelabuhan Angkatan Laut di
Halong.

Agenda Militer
---------------
Dilihat dari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku, penyebaran Lasykar
Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu, keberfihakan sejumlah besar anggota TNI
dan Polri dengan fihak-fihak yang bertikai, serta ketegaran para perwira dari faksi
Wiranto, di mana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau bahkan diselidiki
keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku, orang tidak dapat lagi
mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwa yang terlibat hanyalah "oknum-oknum
pembangkang" (rogue elements). Makanya, penjelasan mengenai kerusuhan yang
berkesinambungan di Kepulauan Maluku harus ditemukan dalam kepentingan-kepentingan
militer yang lebih sistemik.

Dengan menganalisis data dan mengkaji cara berfikir dan operasi militer, dapatlah
dikatakan bahwa ada lima agenda militer dalam melanggengkan konflik di Maluku. Agenda
yang pertama dan paling langsung adalah membalas oposisi para mahasiswa terhadap
dwifungsi ABRI dengan mengalihkan konflik vertikal menjadi konflik horisontal; agenda
yang kedua adalah mempertahankan konsep Wawasan Nusantara; agenda yang ketiga adalah
mempertahankan struktur teritorial TNI, khususnya Angkatan Darat; agenda yang keempat
adalah mempertahankan kepentingan bisnis militer; sedangkan agenda yang kelima yang
tidak kalah pentingnya ketimbang semua agenda di atas adalah mencegah pemeriksaan dan
peradilan para perwira tinggi dan purnawirawan ABRI yang dituduh terlibat kejahatan
korupsi serta pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Pertama-tama, pemicuan konflik horisontal di Maluku dan di tempat-tempat lain di
Indonesia sengaja dilakukan oleh militer untuk membelokkan perhatian jauh dari tuntutan
para mahasiswa untuk penghapusan dwifungsi ABRI. Ini telah dicapai, tidak hanya dengan
penghancuran dua kampus di mana para mahasiswanya berada di front depan dalam gerakan
reformasi di Maluku, tetapi juga dengan menimbulkan perpecahan agama antara para
mahasiswa Muslim dan Kristen di provinsi itu, dan dalam tingkat tertentu, di Indonesia
pada umumnya.

Kedua, penarikan diri aparatur negara Indonesia secara terpaksa dari Timor Lorosa'e telah
meninggalkan satu lubang yang rawan dalam rantai pertahanan di wilayah Indonesia timur.
Menurut doktrin pertahanan TNI yang dikenal dengan istilah Wawasan Nusantara, pulau-
pulau berpenduduk berfungsi untuk membentengi laut pedalaman (territorial sea), dalam
hal ini Laut Banda.

Maka, dengan lepasnya Timor Lorosa'e, di mata TNI rantai kepulauan untuk pertahanan
negara di kawasan timur Indonesia telah diperlemah secara serius. Maluku, yang terletak
di sebelah utara Timor Lorosa'e, secara langsung berhadapan dengan ancaman potensial
dari Selatan, khususnya ancaman yang dirasakan oleh TNI dengan kehadiran ribuan pasukan
PBB, yang didominasi oleh angkatan bersenjata Australia, di Timor Lorosa'e.

Selain dari putusnya rantai pertahanan geo-strategis akibat lepasnya setengah pulau Timor
dari wilayah NKRI, sebagian besar penduduk Kristen di Maluku dipandang kurang dapat
dipercaya di mata militer untuk mempertahankan sisi Tenggara NKRI, karena diyakini bahwa
mereka mungkin memiliki kecenderungan separatis yang sama sebagaimana rakyat Timor
Lorosa'e yang mayoritas beragama Katolik.

Dari sudut militer perlu penyesuaian demografik strategik di Maluku berupa pengiriman
ribuan anggota Lasykar Jihad yang akhirnya diharapkan menetap di kepulauan itu dengan
membawa keluarga mereka dari Jawa dan pulau-pulau lain. Pertukaran penduduk Maluku itu
diharapkan dapat mencegah Maluku dari mengikuti contoh Timor Lorosa'e untuk memisahkan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Agenda militer yang ketiga, yakni mempertahankan struktur teritorial TNI, dapat
ditunjukkan dari keputusan Jendral Wiranto meningkatkan Korem Pattimura menjadi Kodam,
sehingga dengan demikian membenarkan penempatan pasukan yang lebih banyak di Maluku.

Untuk mengklarifikasi hal ini, kita perlu memahami struktur territorial Angkatan Darat,
di mana garis komando terentang dari Kepala Staf Angkatan Darat ke Panglima Kodam,
dengan komandannya adalah jendral berbintang dua.

Setiap Kodam terdiri dari empat sampai enam Korem yang dikepalai oleh seorang kolonel. Di
bawah Korem adalah Kodim yang dikepalai oleh letnan kolonel. Setiap Kodam memiliki
sejumlah batalyon yang mewakili spesialisasi pelayanan yang berbeda-beda di dalam
Angkatan Darat. Batalyon-batalyon yang dikomandani oleh seorang mayor atau letnal
kolonel itu merupakan tulang punggung struktur teritorial Angkatan Darat. Akhirnya, di
samping unit-unit yang berdasarkan wilayah ada batalyon-batalyon dengan kemampuan tempur
khusus, yakni Kopassus dan Kostrad.

Di bawah Panglima Angkatan Bersenjata Jendral Wiranto, Angkatan Darat merencanakan untuk
membangun kembali tujuh belas Kodam, yang oleh pendahulunya, Jendral Benny Murdani,
telah dikurangi menjadi sepuluh. Menurut rencana Wiranto, selain dari menghidupkan
kembali Kodam Pattimura yang lama, Kodam-Kodam lain yang pernah ada antara tahun 1958
dan 1985 juga akan dihidupkan kembali.

Untuk menemukan dasar pemikiran dalam menciptakan kembali komando-komando daerah militer
yang terbengkalai perlu ditunjukkan bahwa pasukan-pasukan itu dibutuhkan untuk
menghadapi keresahan di wilayah-wilayah itu. Lalu, setelah pasukan itu disebarkan,
mereka perlu ditempatkan secara permanen di sana. Dengan kata lain, untuk membenarkan
kehadiran para pemadam kebakaran itu, maka kebakaran harus ditimbulkan.

Pentingnya struktur teritorial ini tidak dapat diremehkan, karena inilah tulang punggung
militer untuk melaksanakan fungsinya sebagai kekuatan politik, di samping fungsinya
sebagai kekuatan pertahanan, yang dikenal dengan doktrin 'dwifungsi ABRI'.

Struktur teritorial ini sejajar dengan struktur pemerintah, semacam negara di dalam
negara, di mana instruksi mengalir dari puncak (ibu kota nasional) ke dasar
(kecamatan), sementara uang suap untuk memudahkan promosi sebaliknya mengalir dari dasar
ke puncak.

Berbicara tentang uang suap adalah berbicara tentang agenda keempat dalam melanggengkan
kekerasan di Maluku, yakni untuk mempertahankan kepentingan ekonomi militer. Ada
perwira aktif maupun purnawirawan yang merasa terancam oleh prospek desentralisasi. Jika
rencana otonomi daerah dan pembangian pendapatan daerah mulai diwujudkan tahun ini, maka
parlemen-parlemen daerah akan memiliki kekuasaan untuk membatalkan atau menolak untuk
memperbaharui kontrak yang menguntungkan perusahaan yang didukung militer di bidang
perikanan, kehutanan dan pertambangan. Kerusuhan-kerusuhan di daerah akan menunda
kerugian-kerugian semacam itu.

Maluku sesungguhnya sarat dengan kepentingan bisnis militer, yang sebagian besar
diperoleh dari konglomerat yang beroperasi di Maluku. Kepentingan ekonomi ini juga tidak
terbatas pada Angkatan Darat, tetapi juga pada Angkatan Laut dan Angkatan Udara. PT
Green Delta, adalah sebuah Perusahaan yang dimiliki oleh Angkatan Udara, yang memasok
kayu glondongan dari konsesi mereka seluas 74.000 hektar di pulau Morotai untuk
penggergajian perusahaan Barito Pasific di pulau lain di Maluku Utara.

Memang, Maluku bukan satu-satunya wilayah yang sarat kepentingan bisnis militer, karena
ini merupakan fenomena yang berlingkup nasional. Soalnya, sekitar 75 persen dari
pengeluaran militer diperoleh dari bisnis Militer dan cara-cara lain. Kegiatan
penghimpunan dana ini biasanya tidak Tunduk pada penelitian publik yang cermat: para
komandan militer memiliki Akses terhadap sejumlah besar uang yang dapat digunakan untuk
membiayai manuver-manuver politik di masa depan. Skandal korupsi Rp 189 milyar rupiah
di Yayasan Dharma Putera Kostrad, yang berhasil dibeberkan oleh Letjen. Agus
Wirahadikusumah, hanyalah merupakan puncak gunung es. Setelah membeberkan skandal itu,
Wirahadikusumah serta merta digeser dari jabatannya sebagai Pangkostrad.

Celakannya bagi rakyat kecil di Maluku, ketika kekerasan di sana sudah memperoleh
momentumnya sendiri, pasukan yang tersebar di Maluku mulai menemukan caranya untuk
mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri. Di Ambon, para serdadu memberikan 'jasa
perlindungan' bagi pengusaha dan orang-orang yang harus melewati rute-rute berbahaya,
misalnya melalui desa-desa yang sedang berperang atau dari dan ke pelabuhan udara dan
pelabuhan laut.

Anggota Batalyon 321 Kostrad dilaporkan menyerang tiga bank di Ambon pada hari Minggu, 16
Juli, 2000, dan menganiaya satpam bank-bank itu, ketika mereka tidak diberi kunci tempat
penyimpanan uang kontan. Di Maluku Utara, serdadu Brawijaya mencuri kelapa dari para
petani Muslim, dan memaksa para pekerja Kristen untuk mrmproduksi kopra yang akan
diekspor oleh para serdadu ke Manado. Dan di kedua provinsi, militer menjadi sumber
utama mengenai persenjataan dan amunisi bagi kedua belah pihak yang berperang. Mereka
juga menjadi penembak bayaran bagi siapa yang memberikan upah paling tinggi.

Akhirnya, agenda militer yang kelima didasarkan pada observasi bahwa pertempuran di
Maluku sering berkobar kembali manakala interogasi terhadap mantan Presiden Soeharto
mengenai korupsinya, atau interogasi terhadap mantan Jendral Wiranto mengenai perannya
dalam kekerasan pasca referendum di Timor Lorosa'e sedang dijalankan.

Celakanya, militer tidak tampak ingin mengurangi peran mereka. Sebaliknya, Pangdam
Pattimura, Brigjen I Made Yasa secara terbuka menyatakan bahwa TNI sedang
mempertimbangkan untuk membentuk Kodim-Kodim baru untuk dua kabupaten baru di Buru dan
Maluku Tenggara Barat.

Kesimpulan & Saran-saran
-------------------------
Kekerasan antaragama yang berkesinambungan di Kepulauan Maluku dimatangkan dan
dipertahankan oleh jaringan militer yang didukung oleh sebagian politisi Poros Tengah.
Jaringan militer dan kaum militan Muslim yang jalin-menjalin ini mengeksploitasi etno-
religius yang membara di Maluku, dengan menggunakan preman Ambon untuk memicu kekerasan
komunal, dan kemudian menyebarkan ribuan militan Muslim setelah pertempuran internal di
Maluku agak mereda. Dalam fase konflik ini, sifat kekerasan beralih dari konflik
antardesa menjadi perang terbuka, di mana desa-desa Kristen harus mempertahankan diri
dari serangan ribuan anggota Lasykar Jihad, yang secara terbuka didukung pula oleh
militer aktif.

Situasi ini paralel dengan perang antara pejuang pro-kemerdekaan dan milisi pro-Indonesia
yang didukung oleh TNI dan Polri, sebelum dan sesudah referendum yang diawasi PBB di
Timor Lorosa'e. Sementara di Timor Lorosa'e ABRI memilih untuk mendukung kekuatan
paramiliter Timor Lorosa'e yang beragama Katolik, di Aeh mereka berkolaborasi dengan
mantan gerilyawan Aceh, sedang di Maluku militer memilih untuk bekerjasama dengan kaum
militan Muslim yang didatangkan dari Jawa dan kepulauan lain.

Kerusuhan sosial di Maluku memenuhi beberapa tujuan strategis dari ABRI, yang pada
akhirnya bermaksud mengkonsolidasikan kekuasaan politik dan ekonomi mereka, yang sedang
terancam oleh gerakan reformasi serta desentralisasi politik ke daerah-daerah.

Mungkin sekali bahwa Lasykar Jihad dan para politisi pendukung mereka di DPR menyadari
sifat 'sementara' dari aliansi taktis mereka dengan tentara, dan sedang mencoba untuk
memanfaatkan aliansi ini demi keuntungan mereka, dengan menggunakan keresahan di Maluku
untuk memperlemah kemampuan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri.
Namun sesungguhnya, kartu terakhir masih berada di tangan militer, sebagaimana
dibuktikan dalam Sidang Tahunan MPR di mana jangka waktu fraksi TNI/Polri bukannya
diperpendek, melainkan diperpanjang lima tahun lagi.

Dengan mempertimbangkan bahwa rezim di Jakarta telah dibajak oleh kekuatan yang menolak
mengakhiri kekerasan di Kepulauan Maluku, tampaknya tidak ada pilihan lain selain
menggunakan tekanan internasional terhadap Pemerintah Indonesia -- khususnya terhadap
ABRI dan para pendukung mereka di DPR -- oleh PBB dan semua badan terkait, termasuk
Komisi HAM di Jenewa dan Dewan Keamanan di New York, untuk mengakhiri penderitaan rakyat
di provinsi kembar Maluku dan Maluku Utara.

Tekanan politik ini harus dibarengi dengan tekanan terhadap sumber-sumber keuangan
militer Indonesia, untuk mengurangi kemampuan ABRI mengadudomba rakyat sipil di wilayah-
wilayah yang jauh dari Jakarta, dari Acheh sampai ke Maluku dan Papua Barat.

Kepustakaan
-------------
Aditjondro, George J. (2001a).
"Guns, pamphlets and handie-talkies: how the military exploited local
ethno-religious tensions in Maluku to preserve their political and economic
interests."

Dalam Ingrid Wessel & Georgia Winhoefer (eds). Violence in Indonesia.
Hamburg: Abera, hal. 100-129. ---------- (2001a).
"Di balik asap mesiu, air mata dan anyir darah di Maluku."
[Behind the smoke, tears and blood in Maluku].

Dalam Zairin Salampessy & Thamrin Hussein (eds).
Ketika semerbak cengkeh tergusur oleh asap mesiu, air mata dan anyir darah.
Jakarta: Team Advokasi Penyelesaian Kasus (TAPAK) Ambon, pp. 78-108.

Awwas, Irfan S. (2000). Trauma Lampung berdarah: Di balik manuver
Hendro Priyono. Yogyakarta: Wihdah Press.

Fealy, Greg (2001). "Inside the Laskar Jihad." Inside Indonesia,
Januari-Maret, hal. 28-29.

Hajari, Nisid (2000). "A wasteland called peace." Time, 24 Januari,
hal. 36-37.

Hefner, Robert W. (2000). Civil Islam: Muslims and democratization in
Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Siagian, F. Sihol (1999). Pius Lustrilanang menolak bungkam: Kesaksian
korban penculikan rezim Orde Baru. Jakarta: Grasindo.

Wertheim, W.F. (1989). "The Lampung affair: A personal perspective."
Inside Indonesia, April, hal. 20-21.

4 Comments

  1. big tambora said,

    luar biasa atas kumpulan opininya,
    saya sangat kagum dan tertarik
    sehungga banyak hal hal yang tidak diketahui menjadi
    lebih terlihat,
    semoga tulisan n opini ataupun rangkuman tulisan saudara sianipar, dapat membuat indonesia lebih bersatu,
    tapi saya ragu karena dari awal saya membaca tulisan anda
    anda selalu menydutkan muslim
    n militer,
    dan tulisan anda tersebut merangsang masyarakat untuk terpecah
    semoga hal buruk tdk terjadi buat anda , kita juga masyrakat maluku, batak, dan indioonesia

  2. alson said,

    Terima kasih sebanyak-banyak kepada Bapak George berkat artikel bapak ini semoga membuka mata saudara kita yakni masyarakat Indonesia agar masyarakat maluku seperti kami yang merantau di luar daerah kami tidak terusik dengan kabar yang menyudutkan kami. Salam Damai…

  3. Mahameru said,

    Menarik sekali ulasan-nya bung George, saya juga hampir sependapat dengan artikel ini, akan jadi pertanyaan buat para pembaca hanya dalam jangka 1-2 tahun. setelah orde baru/Soeharto lengser aparat militer yang biasanya sangat keras terhadap apapun yang berbau kerusuhan seakan tidak berdaya mengahadapinya…sangat aneh, seakan-2 pihak militer ingin mengatakan Heeey kamu tidak akan mampu mengelola negara ini tanpa supremasi Militer. Kontur maluku, poso sangat rentan terhadap kerusuhan karena perimbangan jumlah agama Islam dan Kristen. kasihan sekali rakyat maluku dan poso yg dikorbankan. dan saya percaya juga RMS tidak mungkin yg men-seting kerusuhan maluku secara masif, RMS itu sangat kecil dan organisasinya juga kurang mendapat simpatik rakyat maluku selatan….iya memang RMS bermain dikerusuhan tapi RMS hanya mengambil kesempatan/keuntungan untuk mencari simpati bagi masyarakat maluku selatan yg bergama Kristen saat peristiwa Kerusuhan Ambon terjadi.

  4. daniel juntak said,

    Merdeka indonesia….bersatulah bangsaku…..berbeda tapi tetap satu….
    Sudah terlalu banyak darah yang tumpah….lihat lah saudaraku,di afrika, di amerika selatan,kerusuhan selalu terjadi ….entah apa penyebabnya…mayat…darah…senjata…..parang….kepala manusia berserakan….apakah harus kita alami??????tidak…..kita harus merenung akibat perpecahan….dosa besar bagi kita semua yang memulai hal itu….Tuhan YME tidak akan membiarkan syaitan menghasut hati kita….mari lah kita kembali ke jalan yang terang dan benar…………..islam–kristen—hindu—buddha—penganut kepercayaan,…..mari kita merenungkan bagaimana moyang kita membela tanah air kita sekarang ini dari penindasan dan perbudakan…..jepang…belanda…portugis…sudah berbeda suku bangsa….kita bangsa indonesia adalah satu………….semoga hati nurani kita terbuka………amin

Leave a reply to daniel juntak Cancel reply